Rabu, 26 Oktober 2011

antara kehidupan, rumah,dan kewajiban beredakwah

ALLA SWT mengambarkan kehidupan di bumi ini sebagai senda gurau dan permainan belaka.

Sementara kehidupan akhirat sebagai kehidupan yang sebenarnya. Artinya, Allah mengkondisikan kita untuk memandang dunia dengan santai tidak terlalu serius. Karena di dunia ini tidak ada keadaan yang benar-benar bisa dikatakan bahagia atau sebaliknya sedih. Di dunia ini tidak ada keberhasilan hakiki maupun kegagalan sejati. Segala sesuatu di dunia ini bersifat fana alias sementara. Kadang seseorang bahagia kadang seseorang sedih. Kadang ia berhasil kadang ia gagal. Itulah dunia dengan segala tabiat sementaranya.

Sebaliknya dengan kehidupan dunia, kehidupan akhirat merupakan kehidupan sejati. Tidak ada orang berbahagia di akhirat untuk jangka waktu singkat saja. Dan tidak ada pula yang mengalami penderitaan sementara saja, kecuali Allah menghendaki selain itu.

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut ayat 64)

Allah ta’aala menghendaki agar orang bertaqwa memandang kehidupan akhirat dengan penuh kesungguhan karena di sanalah kehidupan sejati akan dijalani manusia. Sedangkan terhadap dunia Allah ta’aala menghendaki orang bertaqwa agar berlaku proporsional saja dan tidak terlampau ngoyo dalam meraih keberhasilannya. Sebab kehidupan dunia ini Allah ta’aala gambarkan sebagai tempat dimana orang sekedar bermain-main dan bersenda-gurau.

Namun dalam kehidupan kita dewasa ini kebanyakan orang malah sangat serius bila menyangkut urusan kehidupan dunia. Mereka siap mengerahkan tenaga, fikiran, dana dan waktu all out untuk menggapai keberhasilan duniawinya. Sedangkan bila menyangkut urusan akhirat mereka hanya mengerahkan tenaga dan waktu sisa, fikiran sampingan serta dana receh. Jika hal ini terjadi kepada kaum kafir alias tidak beriman kita tentu bisa maklumi. Tapi di dalam zaman penuh fitnah ini tidak sedikit saudara muslim yang kita saksikan bertingkah dan berpacu merebut dunia laksana kaum kafir. Allah memang menggambarkan bahwa kaum yang tidak beriman sangat peduli dan faham akan sisi material kehidupan dunia ini. Namun mereka lalai dan tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai kehidupan akhirat.

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS ArRuum ayat 7)

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berkata: ”Bilamana manusia menemui ajalnya, maka saat itulah dia bangun dari tidurnya”. Sungguh tepat ungkapan beliau ini. Sebab kelak di akhirat nanti manusia akan menyadari betapa menipunya pengalaman hidupnya sewaktu di dunia. Baik sewaktu di dunia ia menikmati kesenangan maupun menjalani penderitaan. Kesenangan dunia sungguh menipu. Penderitaan duniapun menipu.

Saat manusia berada di alam akhirat barulah ia akan menyadari betapa sejatinya kehidupan di sana. Kesenangannya hakiki dan penderitaannya sejati. Surga bukanlah khayalan dan sekedar dongeng orang-orang tua di masa lalu. Begitu pula dengan neraka, ia bukan suatu mitos atau sekedar cerita-ceirta orang dahulu kala. Surga dan neraka adalah perkara hakiki, saudaraku. Sehingga Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan dengan deskripsi yang sangat kontras dan ekstrim mengenai betapa berbedanya tabiat pengalaman hidup di dunia yang menipu dengan kehidupan sejati akhirat. Perhatikanlah baik-baik hadits di bawah ini:

“Pada hari kiamat didatangkan orang yang paling nikmat hidupnya sewaktu di dunia dari penghuni neraka. Lalu ia dicelupkan ke dalam neraka sejenak. Kemudian ia ditanya: ”Hai anak Adam, pernahkah kamu melihat suatu kebaikan, pernahkah kamu merasakan suatu kenikmatan?” Maka ia menjawab: ”Tidak, demi Allah, ya Rabb.” Dan didatangkan orang yang paling menderita sewaktu hidup di dunia dari penghuni surga. Lalu ia dicelupkan ke dalam surga sejenak. Kemudian ditanya: ”Hai anak Adam, pernahkah kamu melihat suatu kesulitan, pernahkah kamu merasakan suatu kesengsaraan?” Maka ia menjawab: ”Tidak, demi Allah, ya Rabb. Aku tidak pernah merasakan kesulitan apapun dan aku tidak pernah melihat kesengsaraan apapun.” (HR Muslim 5018)

Mengapa orang pertama ketika Allah tanya menjawab bahwa ia tidak pernah melihat suatu kebaikan serta merasakan suatu kenikmatan, padahal ia adalah orang yang paling nikmat hidupnya sewaktu di dunia dibandingkan segenap manusia lainnya? Jawabannya: karena Allah telah paksa dia merasakan derita sejati neraka –sejenak saja- cukup untuk membuat ingatannya akan segala kenikmatan palsu yang pernah ia alami sewaktu di dunia terhapus begitu saja dari ingatannya. Sebaliknya, mengapa orang kedua ketika Allah tanya menjawab bahwa ia tidak pernah melihat suatu kesulitan atau merasakan suatu kesengsaraan, padahal ia orang yang paling susah hidupnya sewaktu di dunia dibandingkan segenap manusia lainnya? Jawabannya: karena Allah telah izinkan dia merasakan kesenangan hakiki surga –sejenak saja- cukup untuk membuat ingatannya akan segala penderitaan palsu yang pernah ia alami sewaktu di dunia terhapus begitu saja dari ingatannya. Subhaanallah wa laa haula wa laa quwwata illa billah...!!!

Saudaraku, sungguh kehidupan dunia ini sangat tidak pantas kita jadikan ajang perebutan dan perlombaan. Sebab menang di dunia pada hakikatnya hanyalah menang yang menipu. Demikian pula sebaliknya, kalah di dunia hanyalah kalah yang menipu. Saat manusia diperlihatkan surga dan neraka di akhirat kelak, sadarlah ia betapa naifnya perlombaan merebut keberhasilan dunia ini dibandingkan dengan kenikmatan hakiki dan abadi surga yang jauh labih patut ia kejar dan usahakan semaksimal mungkin. Sadarlah ia betapa lugunya ia saat di dunia berusaha mengelak dari segala derita dan kesusahan dunia jika dibandingkan dengan derita sejati dan lestari neraka yang jauh lebih pantas ia berusaha mengelak dan menjauh darinya.

Pantas bila Allah gambarkan bahwa saat sudah dihadapkan dengan azab neraka orang-orang kafir bakal berharap mereka dapat menebus diri mereka dengan sebanyak apapun yang diperlukan, andai mereka sanggup. Tentunya pada saat itu mereka tidak sanggup dan tidak berdaya.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih.” (QS Al-Maaidah ayat 36)

Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia puncak cita-cita kami dan batas pengetahuan kami. Amin ya Rabb.-
Kita telah belajar bahawa kewajipan melakukan dakwah telah jatuh fardhu ain ke atas setiap muslim dan muslimah sehingga lah tertegaknya hukum dan syariat Allah di atas muka bumi ini. Bersama-sama kefahaman itu, di bahu seorang wanita telah tersedia ada sebuah tanggungjawab lain yang tidak ada pada lelaki daie – iaitu tanggungjawab menjaga rumah dan keluarga.
Di antara kedua-dua perkara ini, keseimbangan yang bagaimanakah harus diletakkan oleh seorang wanita yang juga seorang aktivis dakwah? Perlukah dia sang murabbiyah itu berhari-harian fikirkan urusan mad’u nya sahaja dan membiarkan kerja rumah dilakukan oleh orang lain, atau, sebermula kahwin sahaja – daieyah tidak layak lagi bergerak aktif di dalam harakah islamiyah?
Temu ramah bersama beberapa tokoh wanita dari Mesir ini mungkin dapat memberikan gambaran jelas bagaimana kah yang dimaksudkan dengan keseimbangan tanggungjawab antara dakwah dan rumah.

Bagi setiap pemilik hak itu, ada haknya
  Syeikhah Amniyah Hilal adalah seorang tokoh akhawat yang telah lama berkecimpung di dalam bidang dakwah ini – melebihi 30 tahun lamanya. Bagi beliau, keikhlasan dan kejujuran kepada Allah adalah kunci utama kepada keseimbangan tanggungjawab dakwah dan rumah. Dengan ikhlas lah, dakwah ini akan dibantu agar sampai kepada objek dakwah. Dan dengan ikhlas lah, urusan rumah dapat diselesaikan dengan rasa telus dan saling memahami.
Contoh praktikal yang sangat menarik pernah dilakukan beliau adalah dengan menulis perancangan dakwah beliau ke atas kertas. Perancangan yang dinamakan sebagai ‘Agar Kita Memberi Hak Buat Yang Berhak’ tersebut kemudiannya akan ditampal pada pintu peti ais supaya mudah diingat. Pada setiap malam selepas berlalunya satu hari, Syeikhah Amniyah pasti akan melakukan muhasabah harian untuk semua urusan dakwah nya pada hari itu.
Amniyah Hilal adalah salah seorang wanita yang bertegas untuk tidak menggunakan pembantu rumah di dalam rumah nya. Menurutnya, kemampuan seorang wanita untuk menguruskan rumah dan dakwah itu adalah sebuah kemahiran yang mesti diperoleh oleh setiap daieyah yang ingin serius bekerja untuk Islam. Andaikan jika kita menerima tetamu di rumah, adakah kita akan membiarkan para tetamu untuk melihat pakaian anak-anak kita bersepah-sepah di atas lantai dan cebisan makanan di sana sini – lalu memberi alasan bahawa ‘saya sibuk berdakwah’ ? Jika begini, di manakah qudwah hasanah yang ingin kita bawa? Keseriusan kita menghadapi masalah-masalah ummah harus setanding dengan keseriusan kita mengurus kekemasan dan kebersihan rumah. Jangan sama sekali mengambil sikap tidak endah kepada rumah sendiri, kerana asas iman itu adalah kebersihan.
Sebab itu, apa yang penting di dalam pembinaan rumah tangga ini adalah keberadaan ahli rumah / suami yang memahami tanggungjawab kita, sekiranya ada lopong-lopong kelemahan yang tak mampu kita perbaiki pada mana-mana sudut. Sikap saling memaafkan itu juga penting, dan mesti beriringan dengan sikap berlumba-lumba untuk membantu.
Pada satu sudut yang lain pula, jangan lah kita yang mengaku daieyah ini hilang tidak dapat dikesan di dalam program dakwah – bilamana kita mula sibuk dengan urusan-urusan rumah. Sebagaimana pesan Amniyah Hilal;
“Sesungguhnya tidak adalah keuzuran bagi seseorang itu meninggalkan dakwah, sedangkan dia mampu untuk melakukannya. Tunaikan lah kewajipan dakwah di rumah walaupun melalui media internet.”
Perancangan & Berpagi-pagian
Pengalaman 25 tahun bersama dakwah telah banyak mengajar Syeikhah Huda Abdul Mun’im makna keseimbangan tanggungjawab. Bagi beliau, teliti dalam perancangan untuk hari esok adalah perkara utama yang beliau akan selesaikan sebelum berlalunya malam. Di samping itu, sikap berpagi-pagian iaitu memulakan kerja seawal lepas subuh setiap hari adalah rahsia kejayaan beliau. Syeikhah Huda sangat mencintai waktu selepas subuh, kerana padanya lah terdapat banyak barakah yang tak semua orang mampu peroleh.
Sikap menjaga masa ; adalah perkara yang ditekankan oleh beliau, sebagaimana Islam sangat memberi perhatian kepada menjaga masa. Syeikhah Huda sangat menyarankan setiap daieyah agar belajar dan mentelaah kitab Fiqh Aulawiyyat dan mengambil beberapa kursus pengurusan masa, kerana keadaan sekarang sangat mendesak kita untuk menjadi seorang wanita muslimah yang multi-tasking dan seorang daieyah yang mampu menjadi qudwah.
Di antara pesanan beliau kepada kita;
Orang kafir berusaha keras, bekerja dan akhirnya mereka mendapat neraka. Kita muslim pasti akan mendapat syurga, maka kita lebih layak untuk berusaha dan bekerja keras lebih lagi daripada mereka.”
“Wahai anak-anak perempuanku (panggilan kepada anak usrahnya), jangan sama sekali kamu meninggalkan rumah untuk pergi ke program tarbiyah sedangkan di rumahmu ada banyak pinggan mangkuk yang tidak berbasuh, atau kamu keluar demi dakwah sedangkan kamu tidak menyediakan makan untuk anak-anakmu – lalu kamu berkata : (rumah) ini bukan kewajipan ku.”

Belajar Untuk Berkata ‘Tidak’
Syeikhah Asma’ Abdullah, 10 tahun di dalam dakwah, meyakini bahawa keseimbangan tidak akan dapat dicapai melainkan dengan perancangan yang jelas dan bertulis. Belajarlah untuk berkata  Tidak kepada sebarang aktiviti yang tidak termasuk dalam perancangan mingguan atau bulanan kita. Belajarlah untuk berkata Tidak kepada program-program yang datang secara tiba-tiba. Dan belajarlah untuk memahami hakikat bahawa keseimbangan itu sangat susah untuk dicapai melainkan dengan ketekunan.
Syeikhah Asma’ Abdullah adalah seorang pensyarah universiti yang sangat dikenali dan diikuti seri peribadinya, maka layaklah baginya digelar sebagai seorang daieyah mutamaiyizah. Beliau selalu memperoleh pangkat “جيد جدًّا” di dalam bidang Fizik yang diceburi beliau, walaupun di dalam kesusahan memelihara kedua ibu bapa nya yang sudah tua.
Beliau menasihatkan sesiapa sahaja yang berada dalam lapangan dakwah ini – hendaklah mengenali kemampuan diri masing-masing, menganalisa ruang masa yang dimiliki, serta sentiasa berlaku jujur dalam kedua-dua perkara (kemampuan dan masa) tersebut.

Perkara No 1 : Teman Hidup
Di dalam tempoh 24 tahun hidup untuk dakwah ini, Syeikhah Umaimah Haamed dapat membuat kesimpulan bahawa keseimbangan perlu wujud di antara kerja-kerja dalaman (rumah) dan kerja-kerja luaran (dakwah).  
Kata beliau; teman hidup (pasangan) akan menjadi sama ada penentang keras atau pun penyokong setia. Jika kita ingin kan seseorang yang mampu membantu urusan dakwah kita, maka perkara yang perlu dititikberatkan adalah pemilihan teman hidup.
Beliau menambah; seseorang teman hidup itu – sekiranya dia faham akan dakwah ini, maka dia akan hidup di dalam dakwah ini dengan menggunakan segala anggota jasadnya. Dengan kefahaman itu, dia tidak akan menghalang kita dari menggunakan kebijaksanaan dan kewibawaan kita untuk dimanfaatkan oleh orang ramai (kerana urusan dakwah ini adalah yang terutama atas segala-galanya). Akan tetapi, pada masa yang sama, kehadiran teman hidup itu bukanlah perkara kedua. Di situ, tetaplah kita berada di atas kewajipan menjaga keperluannya secara berterusan, dan hendaklah kita menyelesaikan tanggungjawab kita kepadanya terlebih dahulu sebelum keluar melakukan amal da’awi. 
Buat pengetahuan para daieyah yang sudah menjadi isteri, bagi setiap lelaki itu – berbeza beza keutamaan mereka. Ada sesetengah mereka tidak kisah pun perihal makan dan minum, tapi sesetengah yang lain sangat mementingkan urusan ini. Sebahagian mereka mementingkan pakaian dan keadaan rumah, dan sebahagian lagi tidak. Maka, hendaklah kita mengenali di manakah keutamaan dia -  agar haknya dapat dilangsaikan dan urusan dakwah ini dapat dilunaskan dengan baik.
Ukht daieyah itu akan bersama dalam petunjuk selagimana dia memiliki kit bonus iman, iaitu menjadi (رهبان بالليل.. فرسان بالنهار) rahib pada malam harinya, dan singa pada siang harinya. Hambatan-hambatan dakwah ini tidak akan mampu dipikul oleh seorang ukht melainkan dia ditampung oleh kekuatan ruh. Di dalam kepenatan menguruskan hak-hak mad’u dan pasangan, tidakkah kita rindu untuk bangun bertahajud 2 rakaat dengan penuh rasa kehambaan?
Umar Al-Khattab pernah berkata;
“Sekiranya aku tidur pada waktu malam, maka aku takut jika aku mengabaikan hak Allah. Dan sekiranya aku tidur pada siang hari, aku takut jika aku mengabaikan hak rakyat.”